PROVINSI TERMISKIN DI INDONESIA TAHUN 2025

Tujuan utama pembangunan ekonomi adalah kesejahteraan masyarakat. Setiap program pemerintah dirancang untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk Indonesia. Hingga tahun 2025, Badan Pusat Statistik mencatat masih terdapat 23,8 juta jiwa yang masih hidup dalam kemiskinan. Lebih dari separuh penduduk miskin tersebut tinggal di Pulau Jawa.


provinsi termiskin di indonesia

Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis angka kemiskinan Indonesia. Tercatat, 8,47 persen penduduk Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan, turun dibanding September 2024 (8,57%). Bali menjadi provinsi dengan persentase penduduk miskin paling rendah. Hanya 3,72 persen penduduk di Bali yang hidup dalam belenggu kemiskinan. Lalu, mana provinsi yang paling miskin?

      1. Seluruh Provinsi di Pulau Papua Masih Miskin

      Lima provinsi dengan persentase kemiskinan paling tinggi ada di Papua. Provinsi Papua Pegunungan, yang baru saja dibentuk tahun 2023 yang lalu, menjadi provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi. Tercatat 30,03 persen penduduk di Papua Pegunungan dikategorikan sebagai orang miskin. Empat provinsi lainnya memiliki angka kemiskinan yang cukup tinggi. Provinsi Papua Barat Daya menjadi provinsi di Pulau Papua dengan angka kemiskinan paling kecil (17,95%).

      Kondisi kemiskinan yang tinggi di Pulau Papua seharusnya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah pusat. Terlebih, pemberontakan yang ada di Papua salah satunya dipicu oleh ketidakadilan dalam pembangunan. Pemekaran provinsi diharapkan mampu memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat di Pulau Papua. Jangan sampai, pemekaran provinsi hanya menambah jabatan saja, tapi tak berdampak kepada masyarakat lokal.

      2. Aceh Menjadi Yang Paling Miskin di Sumatra

      Provinsi yang bertetangga dengan India ini menjadi yang paling miskin di Sumatra. Tercatat 12,33 persen penduduk Serambi Mekah dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Faktor utama penyebabnya meliputi rendahnya produktivitas ekonommi, terbatasnya lapangan kerja, kasus korupsi, serta ketimpangan sosial yang tinggi.

      Ironisnya, Aceh memiliki kekayaan alam yang luar biasa, termasuk cadangan gas alam yang diperkirakan sebagai salah satu yang terbesar di dunia, serta minyak bumi dan hutan di sepanjang Bukit Barisan. Kekayaan ini belum sepenuhnya mampu mengatasi kemiskinan.

      Aceh sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki status daerah istimewa dengan otonomi khusus, menjadikannya memiliki kewenangan luas untuk mengelola pemerintahan dan sumber daya, termasuk transfer dana khusus dari pemerintah pusat. Akan tetapi, alokasi dana ini belum sepenuhnya efektif mengurangi kemiskinan.

      3. DI Yogyakarta Menyajikan Paradoks

      Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang kaya akan budaya, sejarah, dan menjadi salah satu tujuan pariwisata lokal. Akan tetapi, secara mengejutkan memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Pulau Jawa. Sebanyak 10,23 persen penduduk DIY masih hidup dalam belenggu kemiskinan (rilis BPS per Maret 2025). Angka ini turun dari 10,40 persen pada September 2024.

      Meski berstatus paling miskin di Pulau Jawa, DIY memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi kedua di Indonesia (hanya kalah dari DKI Jakarta). Kondisi ini menunjukkan kontradiksi, dimana tingkat IPM yang tinggi tidak sepenuhnya membuat tingkat kemiskinan menjadi rendah.

      Yogyakarta menyajikan paradoks menarik: provinsi dengan budaya kaya, IPM tinggi tetapi miliki kemiskinan tertinggi di Jawa. Gaya hidup frugal living, rendahnya upah minimum, dan pembangunan pariwisata yang tidak inklusif menjadi faktor utama. Meski demikian, capaian seperti angka harapan hidup tinggi menunjukkan bahwa kemiskinan di DIY tidak sepenuhnya mencerminkan keterbelakangan, melainkan pola konsumsi yang unik. Pemerintah daerah perlu lebih fokus dalam pemerataan dampak pariwisata, menaikkan upah minimum, dan pembangunan yang berdampak bagi seluruh lapisan masyarakat.

      4. Jawa Timur Jadi 'Sarang' Orang Miskin

      Jawa Timur mencatatkan jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia, yaitu 3,875 juta jiwa pada Maret 2025, atau sekitar 16,28% dari total penduduk miskin nasional (23,8 juta jiwa). Persentase kemiskinannya sebesar 9,50%, menjadikannya provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Pulau Jawa.

      Meskipun menjadi 'sarang' bagi orang miskin, Jawa Timur mencatatkan penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 2,68 persen dari September 2024 ke Maret 2025, dari 3,982 juta jiwa menjadi 3,875 juta jiwa. Ini menunjukkan adanya kemajuan dalam pengentasan kemiskinan, didukung oleh pertumbuhan ekonomi triwulan II 2025 sebesar 5,23 persen (year-on-year).

      5. Gorontalo Jadi Yang Paling Miskin di Sulawesi

      Menurut data BPS per Maret 2025, Gorontalo memiliki angka kemiskinan sebesar 13,24 persen, menjadikannya provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Sulawesi. Status Gorontalo sebagai 'provinsi termiskin' di Pulau Sulawesi sudah disandang beberapa tahun terakhir.

      Gorontalo kaya akan sumber daya alam, terutama pertanian (jagung, kelapa), perikanan, dan pariwisata seperti Pulau Saronde di Laut Sulawesi. Namun, manfaat ekonomi dari sektor ini belum merata. Pertumbuhan ekonomi Gorontalo pada 2024 hanya 4,13%, terendah di Sulawesi, dibandingkan Sulawesi Tengah (9,89%) atau Sulawesi Tenggara (5,40%). Hal ini menunjukkan tantangan dalam mengelola sumber daya untuk mengentaskan kemiskinan.

ANGKA KEMISKINAN INDONESIA: BPS VS WORLD BANK

Badan Pusat Statistik baru saja merilis angka kemiskinan Indonesia. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, tingkat kemiskinan tercatat sebesar 8,47 persen, lebih rendah dari 8,57 persen pada September 2024. Jumlah penduduk miskin juga berkurang menjadi 23,85 juta orang. Angka ini kembali menimbulkan polemik publik. Oposan pemerintah beranggapan bahwa metodologi penghitungan kemiskinan BPS sudah usang dan tak sesuai perkembangan zaman. Apalagi, rilis dari World Bank menyebutkan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai angka 194 juta orang. Berbanding jauh dengan angka BPS yang hanya 23,85 juta orang.

Rilis angka kemiskinan BPS mengernyitkan dahi beberapa pihak. Terlebih, angka milik BPS (8,47% atau 23,85 juta jiwa per Maret 2025) jauh lebih rendah dibandingkan angka kemiskinan hasil perhitungan World Bank (68,3% atau 194,7 juta jiwa per 2025).

Perbedaan penghitungan angka antara BPS dan World Bank bukan berarti salah satu data tidak valid. Perbedaan ini disebabkan perbedaan metodologi, tujuan, dan konteks pengukuran. BPS menggunakan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN), sedangkan World Bank menghitung berdasarkan garis kemiskinan US$8,30 PPP per hari.

Penghitungan angka kemiskinan oleh BPS berfokus pada kebutuhan masyarakat Indonesia. Pendekatan yang digunakan oleh BPS ini mengukur pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan makanan, yaitu sebesar 2.100 kilokalori per hari per kapita, dan non-makanan seperti tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.

Berdasarkan rilis BPS per Maret 2025, garis kemiskinan nasional adalah Rp609.160 per kapita per bulan, atau sekitar Rp2.875.235 per rumah tangga (dengan rata-rata 4,72 orang per rumah tangga). Angka ini bervariasi untuk tiap daerah, misalnya garis kemiskinan di Jakarta sebesar Rp852.768, Jawa Tengah sebesar Rp546.576, dan Kalimantan Utara sebesar Rp921.520 per kapita per bulan. Perbedaan angka tiap provinsi mencerminkan perbedaan biaya hidup dan pola konsumsi lokal.

Penting untuk memahami bahwa garis kemiskinan BPS dihitung pada level rumah tangga, bukan individu. Karena konsumsi dalam kehidupan nyata bersifat kolektif. Sebagai contoh, di DKI Jakarta, garis kemiskinan per kapita adalah Rp852.768 per bulan. Tetapi perlu diingat, untuk rumah tangga dengan lima anggota rumah tangga (ayah, ibu, dan tiga anak), garis kemiskinan di DKI Jakarta menjadi Rp4.203.425 per bulan. Sebagai perbandingan, Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2025 sebesar Rp5.396.761. Angka ini lebih representatif untuk memahami kondisi sosial-ekonomi rumah tangga dibandingkan perhitungan per individu, yang tidak mempertimbangkan variasi kebutuhan berdasarkan usia, jenis kelamin, atau pekerjaan. Pendekatan ini menegaskan bahwa garis kemiskinan bukanlah batas pengeluaran per orang, tetapi rata-rata kebutuhan rumah tangga.

Penting untuk memahami bahwa garis kemiskinan BPS dihitung pada level rumah tangga, bukan individu.

Sebaliknya, World Bank menggunakan garis kemiskinan internasional berbasis Purchasing Power Parity (PPP) untuk memungkinkan perbandingan global. Dimana standar yang digunakan untuk Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas (Upper middle income country) adalah US$ 8,30 PPP per hari per kapita. Standar ini didasarkan pada median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah atas (UMIC), bukan kebutuhan spesifik Indonesia. Penggunaan standar ini mengakibatkan angka kemiskinan World Bank lebih tinggi dari angka yang dirilis BPS.

Kedua angka perhitungan kemiskinan menggunakan sumber data yang sama, yaitu Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Susenas merupakan survei yang dilaksanakan dua kali setahun, yakni Maret dan September. BPS sebagai lembaga yang bertanggungjawab terhadap penyediaan statistik dasar, menyelenggarakan survei ini.

Perbedaan metodologi ini memiliki implikasi yang signifikan. BPS menghitung kemiskinan pada level rumah tangga, bukan individu, karena konsumsi dalam kehidupan nyata bersifat kolektif. Sebagai contoh, di Bali, provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah (3,72% pada Maret 2025), garis kemiskinan rumah tangga jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi seperti Papua Pegunungan, yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi (30,03%). Pendekatan BPS memungkinkan analisis yang sensitif terhadap variasi regional, seperti ketimpangan antara perkotaan (6,73%) dan pedesaan (11,03%), yang terlihat jelas dari data Maret 2025. Sebaliknya, pendekatan World Bank menggunakan standar global yang kurang mempertimbangkan konteks lokal, tetapi memudahkan perbandingan antarnegara.

Data BPS juga menunjukkan penurunan kemiskinan dari 8,57% (24,06 juta jiwa) pada September 2024 menjadi 8,47% (23,85 juta jiwa) pada Maret 2025, menandakan kemajuan dalam pengentasan kemiskinan. Namun, ketimpangan regional tetap menjadi tantangan, dengan provinsi di Pulau Jawa menyumbang 52% penduduk miskin nasional, meskipun provinsi di Papua Pegunungan memiliki persentase kemiskinan tertinggi. Pendekatan BPS relevan untuk kebijakan nasional seperti penyaluran bantuan sosial, karena mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Sementara itu, standar World Bank lebih cocok untuk analisis global, misalnya mengevaluasi kemajuan terhadap Sustainable Development Goals (SDGs).

Meski demikian, penghitungan angka kemiskinan BPS bukanlah tanpa cela. Lembaga ini kerap mendapat kritik karena metodologi yang digunakan dianggap belum sepenuhnya mencerminkan perubahan pola konsumsi. Komposisi kebutuhan makanan dan non-makanan dalam perhitungan Cost of Basic Needs (CBN) dianggap perlu diperbaharui, karena data Susenas 2025 menunjukkan non-makanan bagi rumah tangga miskin mencapai 40 persen, termasuk biaya internet dan makanan jadi. BPS terus menyempurnakan metodologi melalui Susenas untuk memastikan data tetap relevan. Sebaliknya, World Bank menghadapi tantangan dalam menerapkan standar global yang mungkin terlalu tinggi untuk konteks negara seperti Indonesia, yang baru masuk kategori berpendapatan menengah atas dengan GNI per kapita US$4.870 pada 2023.

Secara keseluruhan, perbedaan angka kemiskinan antara BPS dan World Bank mencerminkan dua perspektif yang saling melengkapi. Data BPS, dengan tingkat kemiskinan 8,47% pada Maret 2025, lebih relevan untuk kebijakan domestik yang menargetkan kebutuhan lokal, sementara estimasi World Bank (68,3% pada 2025) memberikan gambaran posisi Indonesia secara global. Dengan memahami konteks dan tujuan kedua pendekatan ini, pemerintah dapat merancang strategi pengentasan kemiskinan yang lebih tepat sasaran, baik untuk mengatasi ketimpangan regional maupun memenuhi komitmen internasional.

CARA MENJADI MITRA STATISTIK BPS

Badan Pusat Statistik merupakan lembaga setingkat kementerian yang bertugas melaksanakan tugas pemerintah dibidang statistik. BPS bertanggung jawab menyediakan statistik dasar untuk keperluan pemerintah. Untuk melaksanakan tugas tersebut, BPS menyelenggarakan sensus dan survei untuk menghasilkan indikator yang berkaitan dengan pembangunan nasional. Dalam penyelenggaraan sensus atau survei, BPS merekrut Mitra Statistik yang bertugas sebagai enumerator/pengumpul data. Lantas, bagaimana cara menjadi Mitra Statistik di BPS?

Badan Pusat Statistik menghasilkan statistik yang berguna untuk perencanaan, monitoring, dan evaluasi pembangunan. Secara sederhana, BPS bertugas memotret kondisi negara dalam bentuk angka. Beberapa indikator yang dihasilkan oleh BPS seperti angka kemiskinan, angka inflasi, hingga pertumbuhan ekonomi, digunakan oleh pembuat kebijakan dalam berbagai bidang.

Untuk menghasilkan angka tersebut, BPS melakukan pengumpulan data di seluruh wilayah Indonesia. Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan survei ataupun sensus. Sebagian besar survei yang dilakukan BPS menyasar rumah tangga dan usaha kecil. Namun, beberapa survei lain juga menjadikan perusahaan besar sebagai respondennya. Dalam pelaksanaannya, BPS merekrut Mitra Statistik yang dipekerjakan sebagai enumerator survei. Biasanya, para mitra statistik ini dikontrak dalam jangka waktu tertentu untuk menyelesaikan survei yang telah ditentukan.

pengumuman rekrutmen calon mitra BPS

Mitra Statistik BPS biasanya direkrut secara serentak pada akhir tahun. Perekrutan ini dimaksudkan untuk mendaftarkan mitra dalam database mitra statistik. Mitra statistik yang sudah terdaftar pada database akan diberikan penawaran pekerjaan oleh BPS pada tahun berikutnya. Namun, bisa saja mitra statistik yang ada dalam database tidak mendapatkan tawaran pekerjaan dikarenakan keterbatasan kegiatan survei.

Berdasarkan perekrutan mitra statistik tahun 2024, berikut persyaratan yang dibutuhkan untuk menjadi mitra statistik BPS:

  1. Bukan Aparatur Sipil Negara (ASN), baik P3K ataupun PNS;
  2. Diutamakan berpendidikan minimal tamat SMA sederajat;
  3. Diutamakan berusia 18 - 50 tahun;
  4. Berdomisili di kabupaten/kota tempat mendaftar;
  5. Diutamakan memiliki, menguasai dan dapat menggunakan smartphone;
  6. Diutamakan memiliki, menguasai dan dapat mengendarai sepeda motor;
  7. Diutamakan berpengalaman dengan kegiatan sensus/survei di BPS;
  8. Mampu bekerjasama dan berkoordinasi dengan anggota tim, pegawai BPS, Aparatur Desa/Kelurahan, Ketua RT, Kepala Dusun, dan lain-lain.

Mitra statistik biasanya direkrut oleh BPS di tingkat kabupaten/kota. Jadi, jika Anda ingin menjadi Mitra Statistik, silahkan memantau akun media sosial BPS kabupaten/kota tempat Anda tinggal. Biasanya, pendaftaran mitra statistik akan dilakukan oleh BPS pada tingkat kabupaten/kota. Waktu pendaftaran biasanya dilaksanakan pada mulai bulan Oktober atau November. Untuk tahapannya, calon mitra biasanya akan diminta mendaftar pada website Mitra BPS. Dapat diakses disini.

Jika masa pendaftaran Mitra Statistik sudah dibuka, maka Anda dapat mengikuti langkah berikut. Secara garis besar, tata cara pendaftaran mitra statistik akan sama setiap tahunnya.

  1. Mendaftar di Website Mitra BPS
    Di website tersebut, Anda akan diminta untuk mengisi data-data pribadi yang berkaitan dengan persyaratan. Seperti, Kartu Identitas, nomor rekening, pendidikan terakhir, hingga pengalaman keikutsertaan survei. Anda tak perlu khawatir, seluruh data Anda aman dan tak akan disalahgunakan.

  2. Upload Dokumen Penting
    Tahap pertama dalam seleksi ini adalah seleksi administrasi. Biasanya, seleksi administrasi akan dilakukan oleh pegawai BPS kabupaten/kota. Oleh karena itu, silahkan Anda melengkapi dokumen yang dibutuhkan. Beberapa dokumen yang perlu anda siapkan antara lain: softcopy foto KTP, nomor rekening dengan nama yang sama di KTP, softcopy ijazah pendidikan tertinggi, hingga mengisi kepemilikan smartphone dan kendaraan bermotor. Jika ada ketidaksesuaian atau kekurangan data yang Anda unggah, maka pegawai BPS kabupaten/kota akan menghubungi Anda. Maka dari itu, pastikan nomor handphone yang Anda isikan sudah benar.

  3. Siapkan Diri Untuk Tes
    Menjadi mitra statistik membutuhkan kemampuan dasar. Oleh karena itu, BPS mengadakan tes kemampuan dasar untuk menyeleksi calon mitranya. Anda tak perlu khawatir, tesnya hanya hitung-hitungan sederhana, penalaran kognitif sederhana, serta pengenalan terhadap lembaga BPS. Maka dari itu, silahkan mempelajari sedikit kemampuan matematika dasar, serta membaca mengenai organisasi BPS.

  4. Tunggu Seleksi Wawancara
    Beberapa BPS kabupaten/kota mengadakan seleksi wawancara dalam menyaring para mitranya. Seleksi ini biasanya digunakan oleh BPS untuk memastikan komitmen para calon mitranya. Selain itu, di beberapa kabupaten/kota, seleksi wawancara digunakan untuk melakukan tes komputer untuk calon mitra pengolahan, yaitu mitra statistik yang biasanya melakukan data entri.

Setelah melalui seluruh tahapan tersebut, maka Anda tinggal menunggu pengumuman kelulusan mitra statistik. Perlu diingat, meskipun Anda sudah dinyatakan lulus sebagai mitra statistik, namun Anda belum tentu mendapatkan pekerjaan. BPS kabupaten/kota tempat Anda mendaftar akan menghubungi Anda jika dibutuhkan untuk melakukan survei. Tenang saja, sebelum melakukan pendataan, Anda akan terlebih dahulu dilatih melalui Bimbingan Teknis. Jika Anda diamanatkan menjadi petugas enumerator survei, maka laksanakanlah tugas tersebut dengan sungguh-sungguh. Lakukan pendataan dengan sebaik-baiknya, dan berikan data yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Data yang Anda kumpulkan akan sangat berarti bagi pembangunan Indonesia.

CARA MEMBACA GRAFIK STATISTIK: PANDUAN SIMPEL UNTUK PEMULA

Pernah buka laporan atau artikel, lalu ketemu grafik statistik yang bikin pusing tujuh keliling? Garis naik-turun, batang warna-warni, atau lingkaran penuh angka. Semuanya terlihat ribet dan ruwet. Padahal, grafik dibuat untuk menyajikan data agar lebih muda dipahami. Nggak perlu menjadi ahli matematika atau profesor untuk mengerti. Cukup ikuti panduan ini, dan kamu akan bisa membaca grafik apa saja.

Kenali Jenis Grafik

Untuk membaca grafik, tentu kita harus terlebih dahulu mengenal jenis-jenis grafik yang umum kita jumpai. Berikut penjelasan singkat mengenai jenis-jenis grafik yang paling sering ditemuin:

  • Grafik Batang(Bar Chart): Grafik jenis ini biasanya digunakan untuk membandingkan data yang berbeda. Misalnya: jumlah penjualan motor dari setiap cabang toko pada waktu. Batang yang lebih tinggi berarti angka penjualannya lebih besar, simpel, kan?

  • Grafik Lingkaran(Pie Chart): Nunjukin proporsi atau persentase, kayak “berapa persen orang pake Android vs iPhone”. Tiap potongan kue punya ukuran beda sesuai datanya.

  • Grafik Garis(Line Chart): Paling pas untuk melihat tren dari waktu ke waktu. Contohnya suhu harian selama sebulan. Garis naik artinya suhu mengalami tren kenaikan, begitu juga sebaliknya.


Perhatikan Judul dan Label Grafik

Bayangkan membaca grafik seperti membaca peta. Tanpa judul dan keterangan grafik, kita bakal nyasar. Judul biasanya terletak diatas grafik dan memberikan info mengenai "cerita utama" pada grafik tersebut. Contohnya, "Jumlah Pengunjung di Toko X Tahun 2010 hingga 2020". Artinya, grafik tersebut akan membahas mengenai jumlah orang yang berkunjung ke Toko X sejak tahun 2010 hingga 2020. Simpel, tapi penting.


Fokus Pada Skala atau Angka, Jangan Tertipu Visual

Nah, ini bagian yang sering bikin orang terjebak. Skala di sumbu adalah "nyawa" grafik. Sebagai contoh, suatu grafik garis memiliki sumbu Y dengan skala Y tidak dimulai dari 0. Sehingga, ketika terjadi penurunan, grafik dengan skala sumbu Y yang tidak dimulai dari 0 akan lebih terlihat penurunannya.

Grafik A dan Grafik B memiliki data yang sama. Namun, Grafik B menampilkan fluktuasi yang lebih dari dramatis dibandingkan Grafik A. Sebagai pembaca data, biasanya kita akan lebih merasakan fluktuasi yang terjadi pada Grafik B dibanding Grafik A meski keduanya memiliki data yang sama. Maka dari itu, kita harus lebih jeli dalam mengamati skala dan keterangan lain pada Grafik.

Cari Pola atau Hal yang Menonjol

Setelah mengetahui jenis grafik, label, dan skala pada grafik. Kemudian perhatikan grafik dengan sekesama. Lihat apa yang paling mencolok dari grafik tersebut. Sebagai contoh, pada grafik batang, perhatikan batang yang paling tinggi. Setelah itu kita akan mengetahui pesan yang disampaikan oleh grafik tersebut


Kenapa Harus Bisa Membaca Grafik?

Di zaman sekarang, grafik ada dimana-mana-laporan kerja, berita, sampai postingan media sosial. Bisa memahami grafik berarti kita nggak hanya jadi penonton, tapi juga paham apa yang benar-benar terjadi.

10 FAKTA STATISTIK ANEH YANG JARANG DIKETAHUI

Statistik sering kali membuat orang takut dan bingung dengan angka-angka dan grafiknya. Orang sering pusing melihat statistik dengan angka-angka dan grafiknya. Tapi, tahukah Anda bahwa dibalik angka-angka itu ada fakta yang bisa bikin kamu tercenganh atau bahkan tertawa? Berikut adalah 10 fakta statistik aneh dan unik yang jarang diketahui.

  1. 1. Rata-rata Manusia Berjalan Sejauh 4 Kali Keliling Bumi
    Sebagai manusia normal, tentu kita akan sering menggunakan kaki kita untuk berpindah tempat. Jika tempat yang kita tuju masih dekat, maka kita akan cenderung berjalan kaki. Menurut penelitian dari American College of Sports Medicine, rata-rata orang berjalan sekitar 7.000 hingga 10.000 langkah per hari. Jika dihitung sepanjang hidup (asumsi harapan hidup 70 tahun), itu setara dengan 177.000 kilometer-kurang lebih tiga hingga empat kali keliling Bumi (40.075 km). Jadi, tanpa kita sadari, kita adalah 'penjelajah dunia'.
    manusia-berjalan-kaki

  2. 2. Satu dari Delapan Orang Pernah Bermimpi dalam Hitam Putih
    Sepertiga dari hidup kita dihabiskan dengan tidur. Ketika tidur, tak jarang kita mengalami mimpi, yang kerap disebut sebagai bunga tidur. Survei dari University of Dundee menemukan bahwa sekitar 12 persen orang (1 dari 8) masih bermimpi dalam warna hitam putih. Terutama mereka yang lahir sebelum era TV berwarna di tahun 1960-an. Mungkin, dalam beberapa tahun kedepan, tak ada lagi manusia yang bermimpi hitam putih.
    statistik-manusia-bermimpi

  3. 3. Rata-rata Orang Mengedipkan Mata 15 Juta Kali dalam Hidupnya
    Berkedip merupakan reaksi alami manusia untuk menghindari mata dari kekeringan ataupun mengeluarkan kotoran yang masuk ke mata. Secara rata-rata, manusia mengedipkan mata 15 hingga 20 kali per menit, atau sekitar 28.800 kali per hari. Jika dihitung selama 70 tahun, maka kita akan berkedip sebanyak 15 juta kali. Anehnya, kita tidak capek untuk melakukan hal tersebut.
    people-blinking

  4. 4. Rata-rata Orang Menghabiskan 2 Tahun Hidupnya untuk Mengantre
    Dalam kehidupan bermasyarakat, kesabaran untuk mengantre merupakan sebuah kemampuan yang wajib dimiliki setiap orang. Jangan sampai kita merebut hak orang lain dengan menyerobot antrean. Uniknya, studi dari University College London (UCL) memperkirakan seseorang menghabiskan 6 bulan hidupnya untuk mengantre di tempat umum. Jika ditambah antrean lain seperti di praktek dokter atau bandara, bisa jadi 2 tahun total. Ternyata, lama juga ya hanya untuk mengantre.

  5. 5. Rata-rata Orang Menghabiskan 6 Bulan Hidupnya Menunggu Lampu Merah
    Bagi orang yang hidup di daerah perkotaan, menunggu lampu merah merupakan rutinitas yang tak dapat dihindarkan. Berdasarkan estimasi dari Departemen Transportasi Amerika Serikat, seseorang menghabiskan 1-2 menit menunggu lampu merah setiap kali berkendara. Bahkan, angka ini bisa lebih tinggi jika di Indonesia. Jika dijumlahkan sepanjang hidup, bisa mencapai 6 bulan. Bayangkan apa yang bisa kita lakukan dengan waktu sebanyak itu.

  6. 6. 80 Persen Hewan di Dunia adalah Serangga
    Mungkin sebagian besar dari kita sangat menakuti kecoa, terutama ketika kecoa dalam mode terbang. Namun, hal yang harus kita ketahui bahwa sebagian besar spesies hewan di dunia ini adalah serangga. Menurut National Geographic, dari sekitar 1,5 juta spesies hewan yang diketahui, lebih dari 1 juta adalah serangga. Artinya, 80% "penduduk" Bumi adalah makhluk kecil bersayap atau berkaki banyak. Untung mereka tidak ikut pemilu!

  7. 7. 1 dari 5.000 Orang Bisa Tidur dengan Mata Terbuka
    Fenomena langka ini disebut dengan "nocturnal lagophtalmos". Berdasarkan penelitian di Amerika Serikat, sekitar 0,02 persen orang (1 dari 5.000) tidur tanpa menutup mata sepenuhnya. Jika kamu pernah lihat teman tidur dengan mata setengah terbuka, jangan kaget, mungkin dia salah satu dari 0,02 persen tersebut.

  8. 8. Kita Punya 0,5% DNA yang Sama dengan Pisang
    Buah pisang merupakan salah satu buah yang sangat menyehatkan. Buah ini baik dikonsumsi setelah berolahraga, karena bermanfaat untuk melemaskan otot dan mencegah kram otot. Namun, faktanya penelitian menunjukkan bahwa manusia berbagi sekitar 50% DNA dengan pisang. Meski cuma 0,5% dari keseluruhan genom yang benar-benar mirip, tetap saja aneh membayangkan kita "sepupu jauh" dengan buah kuning ini.

  9. 9. Ada 0,00000013% Kemungkinan Kita Disambar Petir
    Badai petir biasanya sangat menakutkan untuk dilewati. Terutama jika Anda melaluinya sendiran. Sudah seram ditambah sepi. Ada baiknya, ketika badai petir, Anda harus segera mencari tempat perlindungan. Karena menurut National Weather Service, peluang seseorang disambar petir dalam hidupnya adalah 1 banding 767.000. Meski kecil, kita tetap memiliki peluang untuk disambar petir ya. Jadi tetap hati-hati saat hujan deras ya.
    badai-petir

  10. 10. 99 Persen Es di Dunia Tersimpan di Antartika
    Minuman es memang sangat menyegarkan, terlebih dikonsumsi saat terik hari. Namun tahukah Anda, bahwa 99 persen es di Bumi ini berada di Antartika dan Greenland. Menurut laporan NASA, jika seluruh es tersebut mencair, maka permukaan air laut bisa naik setinggi 60 meter. Sangat mengerikan.

PEREKONOMIAN KABUPATEN SANGGAU TAHUN 2024

Kabupaten Sanggau, sebuah wilayah di Provinsi Kalimantan Barat, baru-baru ini menjadi sorotan berkat rilis data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sanggau. Data tersebut menunjukkan bahwa ekonomi Kabupaten Sanggau berhasil mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,14 persen sepanjang tahun 2024. Angka ini menandakan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya, yakni 2023, yang hanya mencapai 2,04 persen. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat ini tentu menjadi kabar baik, namun juga memunculkan pertanyaan: sejauh mana manfaat pertumbuhan ini dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat di Kabupaten Sanggau? Artikel ini akan mengulas secara mendalam dinamika pertumbuhan ekonomi tersebut, struktur perekonomian, tantangan yang dihadapi, serta langkah strategis yang dapat diambil untuk memastikan kemakmuran merata.

Pertumbuhan Ekonomi 2024: Sebuah Lompatan Positif
Pertumbuhan ekonomi sebesar 4,14 persen pada tahun 2024 menunjukkan adanya percepatan yang cukup menggembirakan dibandingkan tahun sebelumnya. Jika pada 2023 pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 2,04 persen, maka capaian terbaru ini mencerminkan adanya perbaikan dalam aktivitas ekonomi di Kabupaten Sanggau. Peningkatan ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari berbagai faktor yang saling berkaitan, termasuk kebijakan pemerintah, dinamika pasar, dan kontribusi sektor-sektor ekonomi utama.

Dari sisi pengeluaran, data BPS menunjukkan bahwa komponen Konsumsi Pengeluaran Pemerintah menjadi penyumbang terbesar dalam pertumbuhan ekonomi ini, dengan laju pertumbuhan mencapai 8,41 persen. Angka ini menandakan bahwa belanja pemerintah, baik dalam bentuk pembangunan infrastruktur, subsidi, maupun program sosial, telah memainkan peran kunci dalam menggerakkan roda ekonomi. Di sisi lain, Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT) hanya tumbuh sebesar 3,67 persen. Meskipun angka ini masih positif, pertumbuhan yang relatif lambat pada PKRT mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih atau meningkat secara signifikan. Hal ini menjadi sinyal penting bagi pemerintah daerah untuk terus mendorong kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga.

perekonomian-kabupaten-sanggau-tahun-2024
Struktur perekonomian Kabupaten Sanggau

Struktur Perekonomian: Dominasi Sektor Pertanian
Secara struktural, perekonomian Kabupaten Sanggau masih sangat bergantung pada sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, yang menyumbang 36,09 persen dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dominasi sektor ini tidaklah mengejutkan mengingat karakteristik geografis dan demografis Kabupaten Sanggau, yang mayoritas wilayahnya merupakan lahan pertanian dan hutan. Sektor ini diikuti oleh Industri Pengolahan dengan kontribusi 15,98 persen, serta Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor sebesar 11,75 persen. Ketiga sektor ini membentuk tulang punggung ekonomi Sanggau, meskipun ketergantungan pada sektor primer seperti pertanian tetap menjadi ciri utama.

Data tenaga kerja tahun 2023 yang menunjukkan bahwa 64,64 persen penduduk Sanggau bekerja di sektor pertanian semakin memperkuat gambaran ini. Angka tersebut mencerminkan bahwa mayoritas masyarakat Sanggau masih menggantungkan hidupnya pada aktivitas agraris, seperti bertani, berkebun, dan kegiatan kehutanan. Ketergantungan yang tinggi ini membawa implikasi ganda: di satu sisi, sektor pertanian menjadi penopang utama ekonomi lokal; di sisi lain, hal ini juga menunjukkan rendahnya diversifikasi ekonomi, yang dapat menjadi risiko jika terjadi guncangan eksternal seperti perubahan iklim atau fluktuasi harga komoditas.

Analisis Mendalam: Faktor Penyokong Pertumbuhan
Untuk memahami mengapa ekonomi Kabupaten Sanggau dapat tumbuh sebesar 4,14 persen pada 2024, kita perlu melihat lebih jauh faktor-faktor yang berkontribusi. Pertama, peran pemerintah melalui konsumsi pengeluaran yang meningkat tajam menjadi pendorong utama. Belanja pemerintah yang besar kemungkinan terkait dengan proyek-proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan, irigasi, atau fasilitas publik lainnya, yang tidak hanya menciptakan lapangan kerja sementara tetapi juga meningkatkan konektivitas dan produktivitas ekonomi jangka panjang.

Kedua, sektor pertanian yang tetap dominan kemungkinan mendapat manfaat dari stabilitas harga komoditas utama, seperti kelapa sawit, karet, atau padi, yang merupakan produk unggulan di wilayah ini. Meskipun data spesifik tentang produksi dan harga komoditas pada 2024 belum dirinci dalam rilis BPS, tren global menunjukkan bahwa permintaan terhadap produk pertanian tropis cenderung stabil, bahkan meningkat di beberapa pasar internasional. Jika hal ini terjadi, maka ekspor komoditas dari Sanggau dapat menjadi salah satu pendorong pertumbuhan.

Ketiga, kontribusi sektor Industri Pengolahan yang mencapai 15,98 persen juga patut diperhatikan. Sektor ini biasanya mencakup pengolahan hasil pertanian, seperti minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) atau produk karet. Peningkatan kapasitas pengolahan lokal atau investasi di sektor ini bisa menjadi salah satu alasan di balik pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.

Namun, pertumbuhan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga yang hanya 3,67 persen menunjukkan adanya ketimpangan dalam distribusi manfaat ekonomi. Jika konsumsi pemerintah melonjak tinggi sementara konsumsi rumah tangga tertinggal, maka ada kemungkinan bahwa pertumbuhan ini lebih banyak dirasakan oleh sektor publik atau kelompok tertentu, bukan masyarakat luas. Hal ini menjadi tantangan tersendiri yang akan dibahas lebih lanjut.

Tantangan dalam Perekonomian Berbasis Pertanian
Ketergantungan Kabupaten Sanggau pada sektor pertanian membawa sejumlah tantangan yang tidak bisa diabaikan. Pertama, sektor ini sangat rentan terhadap perubahan iklim. Banjir, kekeringan, atau pergeseran musim tanam dapat mengganggu produksi pertanian dan, akibatnya, memengaruhi pendapatan petani. Di Kalimantan Barat, termasuk Sanggau, fenomena seperti kebakaran hutan dan kabut asap juga kerap menjadi ancaman, terutama pada musim kemarau. Jika tidak ada strategi adaptasi yang memadai, pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada 2024 bisa saja tidak berkelanjutan.

Kedua, rendahnya diversifikasi ekonomi menjadi isu krusial. Dengan 64,64 persen tenaga kerja bergantung pada pertanian, Sanggau memiliki risiko ketahanan ekonomi yang lemah jika sektor ini mengalami guncangan. Misalnya, penurunan harga komoditas global atau wabah penyakit tanaman dapat langsung berdampak pada mayoritas penduduk. Diversifikasi ke sektor lain, seperti pariwisata, teknologi, atau industri kreatif, tampaknya masih jauh dari realisasi mengingat infrastruktur dan sumber daya manusia yang ada.

Ketiga, produktivitas sektor pertanian di Sanggau masih perlu ditingkatkan. Banyak petani di wilayah ini masih menggunakan metode tradisional dengan teknologi terbatas. Hal ini menyebabkan hasil panen yang kurang optimal dibandingkan dengan daerah lain yang telah mengadopsi mekanisasi atau teknologi pertanian modern. Tanpa intervensi yang signifikan dari pemerintah, baik dalam bentuk pelatihan, penyediaan alat, maupun akses ke pasar, sektor pertanian akan sulit menjadi motor pertumbuhan yang lebih kuat.

Peluang dan Strategi ke Depan
Meskipun menghadapi tantangan, Kabupaten Sanggau memiliki peluang besar untuk memanfaatkan pertumbuhan ekonomi 2024 sebagai pijakan menuju kemakmuran yang lebih inklusif. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat:

  1. Peningkatan Investasi di Sektor Pertanian Berkelanjutan
    Pemerintah dapat mendorong pertanian berkelanjutan dengan menyediakan teknologi ramah lingkungan, seperti irigasi tetes atau pupuk organik, untuk meningkatkan produktivitas sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Program pelatihan bagi petani juga perlu diperluas agar mereka mampu mengadopsi teknik modern.

  2. Diversifikasi Ekonomi
    Meskipun pertanian tetap menjadi andalan, diversifikasi ke sektor lain harus mulai dirancang. Misalnya, pengembangan industri pengolahan berbasis hasil pertanian dapat menciptakan nilai tambah. Produk seperti minyak kelapa sawit bisa diolah menjadi barang jadi, seperti sabun atau kosmetik, yang memiliki pasar lebih luas. Selain itu, potensi pariwisata alam dan budaya di Sanggau juga dapat digali lebih dalam.

  3. Peningkatan Daya Beli Masyarakat
    Pertumbuhan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga yang lambat menunjukkan perlunya kebijakan yang langsung menyentuh masyarakat, seperti bantuan sosial, pelatihan keterampilan, atau penciptaan lapangan kerja di luar sektor pertanian. Dengan meningkatkan pendapatan rumah tangga, manfaat pertumbuhan ekonomi dapat lebih merata.

  4. Pembangunan Infrastruktur Pendukung
    Infrastruktur, seperti jalan, pasar, dan akses internet, menjadi kunci untuk menghubungkan petani dengan pasar yang lebih luas. Investasi di bidang ini akan mempercepat distribusi barang dan meningkatkan efisiensi ekonomi.

Harapan untuk Kabupaten Sanggau
Pertumbuhan ekonomi sebesar 4,14 persen pada 2024 adalah langkah awal yang menjanjikan bagi Kabupaten Sanggau. Namun, agar pertumbuhan ini benar-benar berdampak pada kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, diperlukan kerja keras dan strategi yang terarah. Dominasi sektor pertanian tidak boleh menjadi alasan untuk berpuas diri, melainkan harus dilihat sebagai peluang untuk inovasi dan perbaikan. Dengan dukungan dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, Sanggau memiliki potensi untuk menjadi salah satu kabupaten yang tidak hanya tumbuh secara ekonomi, tetapi juga berkembang secara berkelanjutan dan inklusif.

Pada akhirnya, keberhasilan ekonomi Kabupaten Sanggau tidak hanya diukur dari angka-angka statistik, tetapi dari bagaimana angka tersebut diterjemahkan menjadi kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya. Tahun 2024 telah menunjukkan tanda-tanda positif; kini saatnya memastikan bahwa langkah ini menjadi fondasi bagi masa depan yang lebih sejahtera.

PREMANISME BERKEDOK ORMAS

Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan yang telah mengakar kuat sejak zaman nenek moyang, yaitu kecintaan untuk berkumpul dan menjalin kebersamaan yang guyub. Tradisi ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkup kecil seperti keluarga maupun dalam skala besar seperti komunitas atau kelompok sosial. Kegemaran akan kebersamaan ini bahkan memengaruhi pilihan praktis masyarakat, misalnya dalam preferensi terhadap mobil 7-seater yang mampu mengangkut banyak orang sekaligus. Kendaraan jenis ini menjadi simbol dari semangat kolektivitas yang melekat dalam budaya kita. Namun, di balik nilai positif kebiasaan guyub ini, ada pula fenomena yang muncul sebagai konsekuensi tak terduga, yaitu maraknya organisasi masyarakat (ormas) yang tidak jarang disalahgunakan sebagai kedok untuk praktik premanisme.

Kebiasaan berkumpul dan membentuk kelompok memang telah menjadi bagian dari identitas sosial masyarakat Indonesia. Ormas, sebagai wujud formal dari semangat kolektivitas ini, hadir dalam berbagai bentuk dan tujuan. Ada ormas yang didirikan berdasarkan kesamaan suku, seperti paguyuban adat yang bertujuan melestarikan budaya leluhur. Ada pula yang berbasis keagamaan, dengan misi memperkuat nilai-nilai spiritual dan solidaritas umat. Selain itu, terdapat ormas yang lahir dari kepentingan tertentu, seperti organisasi profesi atau kelompok pemuda. Secara ideal, keberadaan ormas ini seharusnya menjadi wadah positif bagi masyarakat untuk bersatu, saling mendukung, dan berkontribusi bagi kemajuan bersama. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan wajah yang berbeda.

Lebih banyak dampak positif atau negatif?

Sayangnya, tidak semua ormas menjalankan fungsinya sesuai dengan nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Sebagian ormas justru bertransformasi menjadi alat untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, bahkan tak jarang menjadi kedok bagi praktik premanisme. Premanisme berkedok ormas ini biasanya ditandai dengan aksi-aksi intimidasi, pemerasan, hingga kekerasan yang dilakukan atas nama organisasi. Mereka sering kali mengklaim sebagai “penjaga” atau “pelindung” masyarakat, padahal tindakan mereka justru meresahkan dan merugikan. Fenomena ini tidak hanya mencoreng citra ormas yang benar-benar memiliki niat baik, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap semangat kebersamaan yang seharusnya menjadi kekuatan bangsa.

Salah satu penyebab maraknya premanisme berkedok ormas adalah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Banyak ormas yang awalnya didirikan dengan tujuan mulia, namun seiring waktu mengalami penyimpangan karena kurangnya kontrol internal maupun eksternal. Selain itu, faktor ekonomi juga turut berperan. Di tengah kondisi sosial yang sulit, beberapa individu atau kelompok memanfaatkan ormas sebagai sarana untuk mencari keuntungan dengan cara-cara yang tidak sah. Mereka mengenakan “seragam” organisasi untuk mendapatkan legitimasi, padahal aktivitas yang dilakukan jauh dari nilai-nilai luhur yang seharusnya dipegang teguh oleh sebuah ormas.

Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan langkah tegas dari berbagai pihak. Pemerintah harus memperketat regulasi terkait pendirian dan operasional ormas, termasuk melakukan pengawasan rutin untuk memastikan bahwa organisasi tersebut tidak disalahgunakan. Penegakan hukum juga harus dilakukan secara adil dan konsisten terhadap oknum yang melakukan tindakan premanisme, tanpa pandang bulu. Di sisi lain, masyarakat perlu meningkatkan kesadaran untuk tidak mudah terpancing atau mendukung ormas yang menunjukkan tanda-tanda penyimpangan. Pendidikan tentang nilai kebersamaan yang sejati—yang tidak hanya berhenti pada berkumpul, tetapi juga pada tindakan nyata untuk kebaikan bersama—juga perlu digaungkan.

Pada akhirnya, semangat guyub yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia adalah aset berharga yang harus dijaga. Keberadaan ormas seharusnya menjadi cerminan dari kekuatan kolektivitas ini, bukan malah menjadi alat untuk merusak harmoni sosial. Premanisme berkedok ormas adalah penyimpangan yang tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Dengan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan ormas itu sendiri, kita dapat mengembalikan marwah organisasi masyarakat sebagai pilar kebersamaan yang sejati, bukan sekadar topeng bagi perilaku yang merugikan. Hanya dengan begitu, tradisi berkumpul yang kita warisi dari nenek moyang dapat terus hidup dalam bentuk yang bermakna dan membanggakan.

PUNGLI: MUSUH DALAM SELIMUT

Seorang pemuda bertato di Kecamatan Kembayan, Kab. Sanggau berusaha meminta uang kepada supir bis jurusan Entikong-Singkawang. Pemuda tersebut tersinggung karena hanya diberikan dua batang rokok oleh kondektur bis. Pemuda tersebut beranggapan bahwa dia dan teman-temannya telah membantu menuntun bis tersebut menerjang banjir.

Beberapa waktu yang lalu, sempat viral surat permintaan dana sebuah ormas kepada pengusaha pada saat akan pergantian tahun. Tak hanya pada saat pergantian tahun, beberapa ormas juga mengirimkan surat permohonan dana hari raya kepada para pengusaha. Tujuannya tentu saja mendapatkan uang dengan dalih telah menjaga keamanan usaha para pemilik usaha tersebut.

Para pengusaha beberapa kali melaporkan permasalahan tersebut kepada pihak berwajib. Akan tetapi, pihak berwajib seakan tak menanggapi hal tersebut. Tak ada tindak lanjut terhadap tindakan ormas yang meresahkan ini. Padahal, pungli yang dilakukan para ormas dapat menghambat perkembangan dunia usaha.

Keberadaan pungli membuat para pengusaha harus memutar otak dalam mengatur pengeluaran mereka. Selain membayar pajak resmi kepada pemerintah, pengusaha ini juga harus memikirkan membayar 'pajak' tambahan kepada ormas-ormas ini. Tentu ini akan menurunkan margin keuntungan yang dapat diperoleh para pengusaha.

Tingginya keberadaan pungli di Indonesia dapat menjadi penghambat bagi para investor untuk menginvestasikan uangnya di Indonesia. Para pemilik modal ini tentu tak mau usaha mereka direcoki oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Apalagi, mereka juga masih harus menghadapi ketidakpastian dalam untung rugi. Keengganan para investor menanamkan modalnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menghilangkan potensi pembukaan lapangan pekerjaan.

Mirisnya, pungli dilakukan tak hanya kepada usaha besar. Pungli juga dilakukan kepada pelaku usaha kecil. Baru-baru ini ada seorang pengguna Twitter yang sempat menanyakan mengenai 'perizinan' alias biaya pungli yang dikeluarkan oleh seorang pengusaha kopi keliling di Kota Bekasi. Pengakuan penjual kopi tersebut cukup mengejutkan, karena dia harus membayar pungli tak hanya kepada satu ormas saja, tapi ada empat ormas yang perutnya harus diisi oleh penjual kopi ini.

Besaran yang dibayar penjual kopi ini pun cukup fantastis. Satu bulan dia harus mengeluarkan sekitar 500ribuan hanya untuk membayar para preman begundal ini. Lucunya, polisi dan pemerintah setempat seolah tutup mata terhadap permasalahan ini. Padahal, para preman berkedok ormas ini sangat meresahkan masyarakat dan tak memberikan dampak apapun terhadap perekonomian. Para ormas preman ini hanya menjadi beban bagi negara, dan tak seharusnya diberi tempat di tatanan sosial masyarakat.

Perlu diingat, ini hanya dari satu penjual kopi keliling. Di Kota Bekasi, pasti banyak sekali pengusaha kecil yang ditarik pungli oleh ormas-ormas setempat. Para kepala daerah juga sepertinya takut menindak para ormas preman ini. Sepertinya, para kepala daerah takut jika lumbung suaranya malah terganggu jika menindak ormas preman ini.

BADAN DATA DAN STATISTIK NASIONAL (BDSN): REFORMASI STATISTIK INDONESIA (?)

Badan Legislasi DPR-RI baru saja mengeluarkan draft Revisi Undang-Undang Statistik yang akan segera disahkan dalam waktu dekat. Dalam draft tersebut, terdapat pasal yang menarik, dimana lembaga yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan statistik nasional di Indonesia berubah menjadi Badan Data dan Statistik Nasional (BDSN). Ini menjadi akhir dari cerita BPS (Badan Pusat Statistik) didunia pemerintahan Indonesia. Perubahan ini diharapkan mampu memberikan dampak positif terhadap penyelenggaran statistik di Indonesia. Terlebih, tumpang tindih data yang selama ini masih kerap terjadi.

Revisi Undang-Undang Tentang Statistik kembali masuk dalam Prolegnas tahun 2025-2029. Setelah sebelumnya tak sempat disahkan, Revisi UU tentang Statistik diharapkan segera dapat diimplementasikan dan mengatasi carut marut permasalah data di Indonesia. Baleg menganggap UU Statistik yang ada saat ini tak mampu menjawab kebutuhan data yang semakin tinggi dalam menuju Visi Indonesia Emas 2045. Selain itu, sebagian besar pasal UU Statistik No. 16 Tahun 1997 terkesan sebagai "pasal tidur", utamanya aspek pembinaan dan penegakan hukum.

Perubahan UU Statistik juga diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tata kelola data statistik. Tim Baleg masih menemukan ego sektoral dan tumpang tindih dalam penyelenggaraan kegiatan statistik. Duplikasi, minim keterpaduan, kelengkapa dan kemutakhiran statistik. Selain itu, Tim Ahli Baleg juga mencatat ada berbagai isu prioritas terkait penyediaan data statistik. Perkembangan dan revolusi data berdampak pada tata kerja dan tata kelola penyelenggaraan statistik. Kemunculan berbagai sumber data baru, seperti big data, namun akses BPS terhadap data terkait masih terbatas.

Undang-Undang Statistik yang baru juga akan merubah nomenklatur badan yang berwenang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang data dan statistik. Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi lembaga non kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang berwenang menyediakan data dan statistik untuk penyelenggaraan pemerintahan. Namun, menurut Draft I Revisi Undang-Undang Statistik, nama BPS akan berubah menjadi BDSN (Badan Data dan Statistik Nasional).

Tak hanya mengalami perubahan nomenklatur, revisi undang-undang ini juga akan menambahkan sebuah lembaga non struktural yang berwenang melakukan pengawasan dan pertimbangan terhadap penyelenggaraan data dan statistik. Lembaga ini disebut dengan Dewan Data dan Statistik Nasional (DDSN). Keberadaan lembaga ini diharapkan mampu menjaga kualitas penyelenggaran Sistem Statistik Nasional (SSN).

Percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang masif tentu membutuhkan perencanaan yang matang. Seluruh perencanaan pembangunan tersebut tak akan tetap sasaran jika data dan statistik yang digunakan tidak akurat dan reliabel. Revisi Undang-Undang Statistik ini seharusnya mampu mengakomodir gap yang ada tersebut. Terlebih, BPS selaku lembaga yang berwenang terhadap penyediaan statistik resmi dan pembina data masih memiliki keterbatasan wewenang untuk melaksanakan hal tersebut. Sebagai contoh, BPS selama ini masih sangat kesulitan untuk mengakses data transaksi pada aplikasi-aplikasi e-commerce, padahal data tersebut sangat dibutuhkan untuk menghitung pertumbuhan ekonomi.

KOMPLEKSITAS PERMASALAHAN SAMPAH DI DAERAH

Pesta demokrasi di Indonesia belum juga usai. Setelah Presiden dan Wakil Presiden dilantik pada 20 Oktober lalu, masyarakat masih harus memilih pemimpin-pemimpin mereka di tingkat daerah. Pada tanggal 27 November 2024, akan dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di seluruh Indonesia. Sebanyak 38 provinsi dan lebih dari 500 kabupaten/kota akan memiliki pemimpin baru. Intrik politik sudah sangat kentara sejak sebelum penetapan Calon Kepala Daerah (Cakada). Koalisi pemenang Pilpres, yakni KIM+, ingin melanjutkan kemenangan pada tingkat nasional ke tingkat daerah. Alasannya, tentu saja agar program nasional dapat dieksekusi dengan baik di daerah. Lantas, apakah rakyat yang akan menang?

Masyarakat Indonesia perlu memahami bahwa sebagian besar aspek kehidupan masyarakat diatur pada tingkat daerah. Mulai dari pendidikan dasar dan menengah (SD hingga SMA) yang merupakan kewewenangan kabupaten/kota dan provinsi, hingga pengelolaan sampah yang sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Bahkan, tak sedikit masyarakat yang tak mengetahui bahwa tak semua jalan raya menjadi wewenang dari Pemerintah Pusat. Situasi ini membuat pelaksanaan otonomi daerah tak berjalan efektif dan membuat ketimpangan pembangunan antar daerah semakin besar.

Sebagai contoh saja, kebetulan saya tinggal di salahsatu kabupaten yang ada di Pulau Kalimantan. Pemerintah daerah disini cenderung abai terhadap permasalahan mendasar yang dialami oleh masyarakatnya. Salah satunya adalah permasalahan sampah. Sebagai kabupaten yang memiliki wilayah yang cukup luas, permasalahan sampah memang tak terlihat secara kasat mata saat ini. Namun jika hal tersebut tidak segera diatasi, ini akan menjadi bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu.

Absennya Pemerintah Daerah dalam mengatasi permasalahan sampah membuat masyarakat mencari solusinya sendiri. Setiap rumah tangga yang memiliki sampah, baik organik maupun non organik, terpaksa mencari cara menghilangkan sampah tersebut dari rumah mereka. Beberapa rumah tangga mungkin akan bersusah payah untuk mengantarkan sampah tersebut ke tempat pembuangan sementara yang sangat terbatas. Sebagian besar lainnya memilih cara paling mudah dan murah, yakni dibakar.

Beberapa bulan terakhir, saya sedang gemar berjalan kaki mengelilingi jalanan di ibukota kabupaten. Biasanya saya melakukan hal tersebut pada sore hari sepulang kerja. Tentu harapannya agar badan menjadi lebih sehat dan bugar serta mendapatkan udara segar setelah seharian bekerja di dalam ruangan. Tak jarang saya kecewa dan mengernyitkan dahi ketika melintas di pemukiman warga. Udara segar yang saya harapkan ternyata telah berganti menjadi kepulan asap hasil pembakaran sampah warga. Ironisnya, asap tersebut dihirup para warga yang juga tinggal disitu.

Sepertinya warga di kabupaten ini memang gemar melakukan pembakaran. Sebelum musim tanam padi, para petani juga akan melakukan pembakaran lahan untuk membuka lahan. Warga beralasan membuka lahan dengan cara dibakar memiliki biaya yang kecil dan dapat menyuburkan tanah. Bahkan, pada beberapa kesempatan, asap hasil pembakaran lahan masyarakat berhasil diekspor ke negara tetangga. Sebuah hal yang cukup memalukan sebenarnya. Situasi yang tak akan muncul apabila pemerintah daerah mampu menghadirkan kebijakan tepat dalam mengatasi masalah ini.

Sebenarnya, sudah lelah berharap dengan pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah ini. Pada akhirnya, para Kepala Daerah ini nantinya akan berlomba-lomba menghasilkan kebijakan out of the box agar bisa dikenang dan meninggalkan legacy yang nyata. Tak akan jauh-jauh dari slogan atau bahkan membuat mars kabupaten yang baru. Hingga tugas-tugas mendasar menjadi dilupakan. Seharusnya, para Cakada ini harus bisa memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Air bersih (ingat ya air bersih, bukan air doang, atau air sungai yang dialirkan), udara bersih, dan pengelolaan sampah yang baik. Tiga hal mendasar yang seharusnya menjadi fokus utama para Kepala Daerah yang terpilih nantinya.

Miris sebenarnya hidup di kabupaten ini. Dilintasi oleh salah satu sungai terbesar di Indonesia, namun masyarakat di ibukota kabupaten sangat jarang mendapatkan air bersih mengalir kerumahnya. Perusahaan Air Minum Daerah (Perumda) seharusnya dituntut untuk mengganti namanya. Selama saya tinggal di kabupaten ini, tak pernah saya merasakan aliran air PDAM yang layak diminum. Bahkan, pegawai Perumda sendiri tak akan berani meminum air hasil olahan dari perusahaan mereka.

Para Cakada seharusnya tak usah muluk-muluk untuk membuat program untuk meningkatkan sumber daya manusia, meningkatkan nilai IPM, atau meningkatkan indikator ekonomi makro lainnya. Mereka harusnya lebih fokus untuk memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Pastikan dulu seluruh masyarakat mendapatkan air bersih yang benar-benar layak diminum. Kalau tidak sanggup, ganti saja nama perusahaan tersebut. Jangan mengklaim diri sebagai perusahaan air minum. Pastikan juga masyarakat mendapatkan udara yang bersih. Jangan biarkan masyarakat untuk mengolah sampahnya sendiri. Pengolahan sampah yang dilakukan secara makro akan lebih murah dan lebih ramah lingkungan. Jangan biarkan masyarakat membakar sampah. Jika kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut sudah dapat terpenuhi, maka program-program lain akan dapat berjalan dengan lebih mudah. Peningkatan kualitas SDM akan lebih mudah.