ANGKA KEMISKINAN INDONESIA: BPS VS WORLD BANK

Badan Pusat Statistik baru saja merilis angka kemiskinan Indonesia. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, tingkat kemiskinan tercatat sebesar 8,47 persen, lebih rendah dari 8,57 persen pada September 2024. Jumlah penduduk miskin juga berkurang menjadi 23,85 juta orang. Angka ini kembali menimbulkan polemik publik. Oposan pemerintah beranggapan bahwa metodologi penghitungan kemiskinan BPS sudah usang dan tak sesuai perkembangan zaman. Apalagi, rilis dari World Bank menyebutkan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai angka 194 juta orang. Berbanding jauh dengan angka BPS yang hanya 23,85 juta orang.

Rilis angka kemiskinan BPS mengernyitkan dahi beberapa pihak. Terlebih, angka milik BPS (8,47% atau 23,85 juta jiwa per Maret 2025) jauh lebih rendah dibandingkan angka kemiskinan hasil perhitungan World Bank (68,3% atau 194,7 juta jiwa per 2025).

Perbedaan penghitungan angka antara BPS dan World Bank bukan berarti salah satu data tidak valid. Perbedaan ini disebabkan perbedaan metodologi, tujuan, dan konteks pengukuran. BPS menggunakan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN), sedangkan World Bank menghitung berdasarkan garis kemiskinan US$8,30 PPP per hari.

Penghitungan angka kemiskinan oleh BPS berfokus pada kebutuhan masyarakat Indonesia. Pendekatan yang digunakan oleh BPS ini mengukur pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan makanan, yaitu sebesar 2.100 kilokalori per hari per kapita, dan non-makanan seperti tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.

Berdasarkan rilis BPS per Maret 2025, garis kemiskinan nasional adalah Rp609.160 per kapita per bulan, atau sekitar Rp2.875.235 per rumah tangga (dengan rata-rata 4,72 orang per rumah tangga). Angka ini bervariasi untuk tiap daerah, misalnya garis kemiskinan di Jakarta sebesar Rp852.768, Jawa Tengah sebesar Rp546.576, dan Kalimantan Utara sebesar Rp921.520 per kapita per bulan. Perbedaan angka tiap provinsi mencerminkan perbedaan biaya hidup dan pola konsumsi lokal.

Penting untuk memahami bahwa garis kemiskinan BPS dihitung pada level rumah tangga, bukan individu. Karena konsumsi dalam kehidupan nyata bersifat kolektif. Sebagai contoh, di DKI Jakarta, garis kemiskinan per kapita adalah Rp852.768 per bulan. Tetapi perlu diingat, untuk rumah tangga dengan lima anggota rumah tangga (ayah, ibu, dan tiga anak), garis kemiskinan di DKI Jakarta menjadi Rp4.203.425 per bulan. Sebagai perbandingan, Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2025 sebesar Rp5.396.761. Angka ini lebih representatif untuk memahami kondisi sosial-ekonomi rumah tangga dibandingkan perhitungan per individu, yang tidak mempertimbangkan variasi kebutuhan berdasarkan usia, jenis kelamin, atau pekerjaan. Pendekatan ini menegaskan bahwa garis kemiskinan bukanlah batas pengeluaran per orang, tetapi rata-rata kebutuhan rumah tangga.

Penting untuk memahami bahwa garis kemiskinan BPS dihitung pada level rumah tangga, bukan individu.

Sebaliknya, World Bank menggunakan garis kemiskinan internasional berbasis Purchasing Power Parity (PPP) untuk memungkinkan perbandingan global. Dimana standar yang digunakan untuk Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas (Upper middle income country) adalah US$ 8,30 PPP per hari per kapita. Standar ini didasarkan pada median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah atas (UMIC), bukan kebutuhan spesifik Indonesia. Penggunaan standar ini mengakibatkan angka kemiskinan World Bank lebih tinggi dari angka yang dirilis BPS.

Kedua angka perhitungan kemiskinan menggunakan sumber data yang sama, yaitu Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Susenas merupakan survei yang dilaksanakan dua kali setahun, yakni Maret dan September. BPS sebagai lembaga yang bertanggungjawab terhadap penyediaan statistik dasar, menyelenggarakan survei ini.

Perbedaan metodologi ini memiliki implikasi yang signifikan. BPS menghitung kemiskinan pada level rumah tangga, bukan individu, karena konsumsi dalam kehidupan nyata bersifat kolektif. Sebagai contoh, di Bali, provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah (3,72% pada Maret 2025), garis kemiskinan rumah tangga jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi seperti Papua Pegunungan, yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi (30,03%). Pendekatan BPS memungkinkan analisis yang sensitif terhadap variasi regional, seperti ketimpangan antara perkotaan (6,73%) dan pedesaan (11,03%), yang terlihat jelas dari data Maret 2025. Sebaliknya, pendekatan World Bank menggunakan standar global yang kurang mempertimbangkan konteks lokal, tetapi memudahkan perbandingan antarnegara.

Data BPS juga menunjukkan penurunan kemiskinan dari 8,57% (24,06 juta jiwa) pada September 2024 menjadi 8,47% (23,85 juta jiwa) pada Maret 2025, menandakan kemajuan dalam pengentasan kemiskinan. Namun, ketimpangan regional tetap menjadi tantangan, dengan provinsi di Pulau Jawa menyumbang 52% penduduk miskin nasional, meskipun provinsi di Papua Pegunungan memiliki persentase kemiskinan tertinggi. Pendekatan BPS relevan untuk kebijakan nasional seperti penyaluran bantuan sosial, karena mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Sementara itu, standar World Bank lebih cocok untuk analisis global, misalnya mengevaluasi kemajuan terhadap Sustainable Development Goals (SDGs).

Meski demikian, penghitungan angka kemiskinan BPS bukanlah tanpa cela. Lembaga ini kerap mendapat kritik karena metodologi yang digunakan dianggap belum sepenuhnya mencerminkan perubahan pola konsumsi. Komposisi kebutuhan makanan dan non-makanan dalam perhitungan Cost of Basic Needs (CBN) dianggap perlu diperbaharui, karena data Susenas 2025 menunjukkan non-makanan bagi rumah tangga miskin mencapai 40 persen, termasuk biaya internet dan makanan jadi. BPS terus menyempurnakan metodologi melalui Susenas untuk memastikan data tetap relevan. Sebaliknya, World Bank menghadapi tantangan dalam menerapkan standar global yang mungkin terlalu tinggi untuk konteks negara seperti Indonesia, yang baru masuk kategori berpendapatan menengah atas dengan GNI per kapita US$4.870 pada 2023.

Secara keseluruhan, perbedaan angka kemiskinan antara BPS dan World Bank mencerminkan dua perspektif yang saling melengkapi. Data BPS, dengan tingkat kemiskinan 8,47% pada Maret 2025, lebih relevan untuk kebijakan domestik yang menargetkan kebutuhan lokal, sementara estimasi World Bank (68,3% pada 2025) memberikan gambaran posisi Indonesia secara global. Dengan memahami konteks dan tujuan kedua pendekatan ini, pemerintah dapat merancang strategi pengentasan kemiskinan yang lebih tepat sasaran, baik untuk mengatasi ketimpangan regional maupun memenuhi komitmen internasional.

0 type your comment here...:

Posting Komentar