PREMANISME BERKEDOK ORMAS

Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan yang telah mengakar kuat sejak zaman nenek moyang, yaitu kecintaan untuk berkumpul dan menjalin kebersamaan yang guyub. Tradisi ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkup kecil seperti keluarga maupun dalam skala besar seperti komunitas atau kelompok sosial. Kegemaran akan kebersamaan ini bahkan memengaruhi pilihan praktis masyarakat, misalnya dalam preferensi terhadap mobil 7-seater yang mampu mengangkut banyak orang sekaligus. Kendaraan jenis ini menjadi simbol dari semangat kolektivitas yang melekat dalam budaya kita. Namun, di balik nilai positif kebiasaan guyub ini, ada pula fenomena yang muncul sebagai konsekuensi tak terduga, yaitu maraknya organisasi masyarakat (ormas) yang tidak jarang disalahgunakan sebagai kedok untuk praktik premanisme.

Kebiasaan berkumpul dan membentuk kelompok memang telah menjadi bagian dari identitas sosial masyarakat Indonesia. Ormas, sebagai wujud formal dari semangat kolektivitas ini, hadir dalam berbagai bentuk dan tujuan. Ada ormas yang didirikan berdasarkan kesamaan suku, seperti paguyuban adat yang bertujuan melestarikan budaya leluhur. Ada pula yang berbasis keagamaan, dengan misi memperkuat nilai-nilai spiritual dan solidaritas umat. Selain itu, terdapat ormas yang lahir dari kepentingan tertentu, seperti organisasi profesi atau kelompok pemuda. Secara ideal, keberadaan ormas ini seharusnya menjadi wadah positif bagi masyarakat untuk bersatu, saling mendukung, dan berkontribusi bagi kemajuan bersama. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan wajah yang berbeda.

Lebih banyak dampak positif atau negatif?

Sayangnya, tidak semua ormas menjalankan fungsinya sesuai dengan nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Sebagian ormas justru bertransformasi menjadi alat untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, bahkan tak jarang menjadi kedok bagi praktik premanisme. Premanisme berkedok ormas ini biasanya ditandai dengan aksi-aksi intimidasi, pemerasan, hingga kekerasan yang dilakukan atas nama organisasi. Mereka sering kali mengklaim sebagai “penjaga” atau “pelindung” masyarakat, padahal tindakan mereka justru meresahkan dan merugikan. Fenomena ini tidak hanya mencoreng citra ormas yang benar-benar memiliki niat baik, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap semangat kebersamaan yang seharusnya menjadi kekuatan bangsa.

Salah satu penyebab maraknya premanisme berkedok ormas adalah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Banyak ormas yang awalnya didirikan dengan tujuan mulia, namun seiring waktu mengalami penyimpangan karena kurangnya kontrol internal maupun eksternal. Selain itu, faktor ekonomi juga turut berperan. Di tengah kondisi sosial yang sulit, beberapa individu atau kelompok memanfaatkan ormas sebagai sarana untuk mencari keuntungan dengan cara-cara yang tidak sah. Mereka mengenakan “seragam” organisasi untuk mendapatkan legitimasi, padahal aktivitas yang dilakukan jauh dari nilai-nilai luhur yang seharusnya dipegang teguh oleh sebuah ormas.

Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan langkah tegas dari berbagai pihak. Pemerintah harus memperketat regulasi terkait pendirian dan operasional ormas, termasuk melakukan pengawasan rutin untuk memastikan bahwa organisasi tersebut tidak disalahgunakan. Penegakan hukum juga harus dilakukan secara adil dan konsisten terhadap oknum yang melakukan tindakan premanisme, tanpa pandang bulu. Di sisi lain, masyarakat perlu meningkatkan kesadaran untuk tidak mudah terpancing atau mendukung ormas yang menunjukkan tanda-tanda penyimpangan. Pendidikan tentang nilai kebersamaan yang sejati—yang tidak hanya berhenti pada berkumpul, tetapi juga pada tindakan nyata untuk kebaikan bersama—juga perlu digaungkan.

Pada akhirnya, semangat guyub yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia adalah aset berharga yang harus dijaga. Keberadaan ormas seharusnya menjadi cerminan dari kekuatan kolektivitas ini, bukan malah menjadi alat untuk merusak harmoni sosial. Premanisme berkedok ormas adalah penyimpangan yang tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Dengan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan ormas itu sendiri, kita dapat mengembalikan marwah organisasi masyarakat sebagai pilar kebersamaan yang sejati, bukan sekadar topeng bagi perilaku yang merugikan. Hanya dengan begitu, tradisi berkumpul yang kita warisi dari nenek moyang dapat terus hidup dalam bentuk yang bermakna dan membanggakan.

Related Posts:

  • KEMISKINAN SANGGAU TAHUN 2024 MENURUNJumlah orang miskin di Kabupaten Sanggau berkurang dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan rilis BPS Kabupaten Sanggau, jumlah orang miskin di Sanggau ada sebanyak 23,02 ribu jiwa. Angka ini menurun dibandingkan tahun 2023… Read More
  • PUNGLI: MUSUH DALAM SELIMUT Seorang pemuda bertato di Kecamatan Kembayan, Kab. Sanggau berusaha meminta uang kepada supir bis jurusan Entikong-Singkawang. Pemuda tersebut tersinggung karena hanya diberikan dua batang rokok oleh kondektur bis. Pemuda te… Read More
  • POTRET KEMISKINAN DI KABUPATEN SANGGAUKesejahteraan masyarakat merupakan kewajiban yang harus dipenuhi Pemerintah Indonesia sebagaimana yang telah diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945. Kemiskinan yang menggerogoti kehidupan masyarakat harus segera dientaskan. Aka… Read More
  • PREMANISME BERKEDOK ORMAS Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan yang telah mengakar kuat sejak zaman nenek moyang, yaitu kecintaan untuk berkumpul dan menjalin kebersamaan yang guyub. Tradisi ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari… Read More
  • KOMPLEKSITAS PERMASALAHAN SAMPAH DI DAERAH Pesta demokrasi di Indonesia belum juga usai. Setelah Presiden dan Wakil Presiden dilantik pada 20 Oktober lalu, masyarakat masih harus memilih pemimpin-pemimpin mereka di tingkat daerah. Pada tanggal 27 November 2024, akan… Read More

0 type your comment here...:

Posting Komentar