Pesta demokrasi di Indonesia belum juga usai. Setelah Presiden dan Wakil Presiden dilantik pada 20 Oktober lalu, masyarakat masih harus memilih pemimpin-pemimpin mereka di tingkat daerah. Pada tanggal 27 November 2024, akan dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di seluruh Indonesia. Sebanyak 38 provinsi dan lebih dari 500 kabupaten/kota akan memiliki pemimpin baru. Intrik politik sudah sangat kentara sejak sebelum penetapan Calon Kepala Daerah (Cakada). Koalisi pemenang Pilpres, yakni KIM+, ingin melanjutkan kemenangan pada tingkat nasional ke tingkat daerah. Alasannya, tentu saja agar program nasional dapat dieksekusi dengan baik di daerah. Lantas, apakah rakyat yang akan menang?
Masyarakat Indonesia perlu memahami bahwa sebagian besar aspek kehidupan masyarakat diatur pada tingkat daerah. Mulai dari pendidikan dasar dan menengah (SD hingga SMA) yang merupakan kewewenangan kabupaten/kota dan provinsi, hingga pengelolaan sampah yang sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Bahkan, tak sedikit masyarakat yang tak mengetahui bahwa tak semua jalan raya menjadi wewenang dari Pemerintah Pusat. Situasi ini membuat pelaksanaan otonomi daerah tak berjalan efektif dan membuat ketimpangan pembangunan antar daerah semakin besar.
Sebagai contoh saja, kebetulan saya tinggal di salahsatu kabupaten yang ada di Pulau Kalimantan. Pemerintah daerah disini cenderung abai terhadap permasalahan mendasar yang dialami oleh masyarakatnya. Salah satunya adalah permasalahan sampah. Sebagai kabupaten yang memiliki wilayah yang cukup luas, permasalahan sampah memang tak terlihat secara kasat mata saat ini. Namun jika hal tersebut tidak segera diatasi, ini akan menjadi bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu.
Absennya Pemerintah Daerah dalam mengatasi permasalahan sampah membuat masyarakat mencari solusinya sendiri. Setiap rumah tangga yang memiliki sampah, baik organik maupun non organik, terpaksa mencari cara menghilangkan sampah tersebut dari rumah mereka. Beberapa rumah tangga mungkin akan bersusah payah untuk mengantarkan sampah tersebut ke tempat pembuangan sementara yang sangat terbatas. Sebagian besar lainnya memilih cara paling mudah dan murah, yakni dibakar.
Beberapa bulan terakhir, saya sedang gemar berjalan kaki mengelilingi jalanan di ibukota kabupaten. Biasanya saya melakukan hal tersebut pada sore hari sepulang kerja. Tentu harapannya agar badan menjadi lebih sehat dan bugar serta mendapatkan udara segar setelah seharian bekerja di dalam ruangan. Tak jarang saya kecewa dan mengernyitkan dahi ketika melintas di pemukiman warga. Udara segar yang saya harapkan ternyata telah berganti menjadi kepulan asap hasil pembakaran sampah warga. Ironisnya, asap tersebut dihirup para warga yang juga tinggal disitu.
Sepertinya warga di kabupaten ini memang gemar melakukan pembakaran. Sebelum musim tanam padi, para petani juga akan melakukan pembakaran lahan untuk membuka lahan. Warga beralasan membuka lahan dengan cara dibakar memiliki biaya yang kecil dan dapat menyuburkan tanah. Bahkan, pada beberapa kesempatan, asap hasil pembakaran lahan masyarakat berhasil diekspor ke negara tetangga. Sebuah hal yang cukup memalukan sebenarnya. Situasi yang tak akan muncul apabila pemerintah daerah mampu menghadirkan kebijakan tepat dalam mengatasi masalah ini.
Sebenarnya, sudah lelah berharap dengan pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah ini. Pada akhirnya, para Kepala Daerah ini nantinya akan berlomba-lomba menghasilkan kebijakan out of the box agar bisa dikenang dan meninggalkan legacy yang nyata. Tak akan jauh-jauh dari slogan atau bahkan membuat mars kabupaten yang baru. Hingga tugas-tugas mendasar menjadi dilupakan. Seharusnya, para Cakada ini harus bisa memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Air bersih (ingat ya air bersih, bukan air doang, atau air sungai yang dialirkan), udara bersih, dan pengelolaan sampah yang baik. Tiga hal mendasar yang seharusnya menjadi fokus utama para Kepala Daerah yang terpilih nantinya.
Miris sebenarnya hidup di kabupaten ini. Dilintasi oleh salah satu sungai terbesar di Indonesia, namun masyarakat di ibukota kabupaten sangat jarang mendapatkan air bersih mengalir kerumahnya. Perusahaan Air Minum Daerah (Perumda) seharusnya dituntut untuk mengganti namanya. Selama saya tinggal di kabupaten ini, tak pernah saya merasakan aliran air PDAM yang layak diminum. Bahkan, pegawai Perumda sendiri tak akan berani meminum air hasil olahan dari perusahaan mereka.
Para Cakada seharusnya tak usah muluk-muluk untuk membuat program untuk meningkatkan sumber daya manusia, meningkatkan nilai IPM, atau meningkatkan indikator ekonomi makro lainnya. Mereka harusnya lebih fokus untuk memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Pastikan dulu seluruh masyarakat mendapatkan air bersih yang benar-benar layak diminum. Kalau tidak sanggup, ganti saja nama perusahaan tersebut. Jangan mengklaim diri sebagai perusahaan air minum. Pastikan juga masyarakat mendapatkan udara yang bersih. Jangan biarkan masyarakat untuk mengolah sampahnya sendiri. Pengolahan sampah yang dilakukan secara makro akan lebih murah dan lebih ramah lingkungan. Jangan biarkan masyarakat membakar sampah. Jika kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut sudah dapat terpenuhi, maka program-program lain akan dapat berjalan dengan lebih mudah. Peningkatan kualitas SDM akan lebih mudah.