Kemiskinan masih menjadi permasalahan utama yang dihadapi oleh bangsa ini. Setelah 78 tahun merdeka, masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan. Tak dipungkiri, pertumbuhan ekonomi memang mengantarkan Indonesia menjadi negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar nomor 7 di dunia. Namun, pembagian kue ekonomi yang tidak merata membuat ketimpangan ekonomi masih tinggi, dan masih menyisakan kemiskinan dimasyarakat.
Pengentasan kemiskinan selalu menjadi prioritas utama dalam setiap periode pemerintahan di Indonesia. Apalagi penghapusan kemiskinan tertuang dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 alinea keempat. Selain itu, penghapusan kemiskinan juga tertuang dalam Sustainable Development Goals yang dibuat oleh Perseriktan Bangsa-Bangsa. Komitmen pemerintahan Indonesia dalam pengentasan kemiskinan juga dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan penghapusan kemiskinan ekstrim.
Badan Pusat Statistik (BPS) adalah lembaga yang bertanggungjawab dalam melakukan pengukuran angka kemiskinan makro. Berdasarkan data yang dirilis BPS, kemiskinan Indonesia pada Maret 2023 berada pada angka 9,36 persen, turun dari angka tahun lalu 9,57 persen. Ini artinya, sekitar 25,8 juta penduduk Indonesia masih berada dibawah garis kemiskinan. Angka kemiskinan ini dihasilkan melalui survei sosial ekonomi nasional (susenas) yang dilaksanakan pada Maret 2023. Berdasarkan survei tersebut, seorang penduduk dikatakan dibawah garis kemiskinan apabila penduduk tersebut memiliki pengeluaran dibawah Rp525.000 per bulannya (atau sekitar Rp17.500 per hari).
Sejatinya, tingkat kemiskinan dibawah 10 persen merupakan sebuah sinyal bagus dalam program pengentasan kemiskinan pemerintah. Terlebih, tingkat kemiskinan Indonesia sempat kembali ke angka 10 persen pada tahun 2021 yang lalu. Kembalinya angka tingkat kemiskinan dibawah 10 persen juga menjadi indikasi bahwa kondisi masyarakat sudah kembali lagi seperti sebelum pandemi. Namun, pengukuran tingkat kemiskinan yang dilakukan oleh BPS telah mendapat kritik dari beberapa kalangan. Garis kemiskinan yang hanya sebesar Rp17.500 per hari per orang dinilai terlalu rendah dan tidak sesuai lagi dengan anjuran Bank Dunia, yakni sebesar Rp42.000 per hari per kapita.
Evaluasi Garis Kemiskinan
Pemerintah juga telah berencana melakukan evaluasi terhadap garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS. Namun, pemerintah sepertinya akan menunda rencana tersebut, setidaknya hingga pagelaran Pemilu 2024 digelar. Jika garis kemiskinan mengikuti anjuran dari Bank Dunia, tentu tingkat kemiskinan menjadi lebih tinggi daripada yang ada sekarang. Peningkatan tersebut dapat menjadi citra buruk bagi pemerintahan saat ini.
BPS selaku lembaga yang menyediakan statistik dasar tentu lebih memahami tata cara penghitungan garis kemiskinan. Apalagi, BPS selalu mengikuti pedoman yang dikeluarkan oleh PBB dalam menyediakan statistik dasar. Hingga saat ini, BPS merasa bahwa penghitungan kemiskinan yang dilakukan sudah sesuai dengan pedoman dari PBB (dan Bank Dunia), dan sudah disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Angka Kemiskinan yang Politis
Angka tingkat kemiskinan juga sering menjadi komoditas politik bagi para politisi untuk mencari panggung. Para politisi (ataupun buzzer) sering memilah-milah data kemiskinan (dan data lainnya) dan menyajikan data tersebut dengan narasi yang menjatuhkan lawan politiknya. Terlebih mendekati tahun politik, praktik pilih-pilih data tersebut akan semakin sering kita lihat diberbagai platform sosial media.
Hal ini memang tak dapat dihindarkan, apalagi para pendukung politisi ini sangat militan untuk membela para jagoannya. Sehingga, tak jarang mereka melihat data bukan lagi sebagai fakta, namun biasanya data tersebut akan dinarasikan sesuai dengan kepentingan mereka. Kondisi ini tentu tak baik bagi pendidikan statistik bagi masyarakat. Statistik seharusnya disajikan sebagai sebuah fakta, landasan bagi rencana pembangunan, serta indikator evaluasi bagi sebuah program yang sudah berjalan.
0 comments:
Posting Komentar