Rabu, 27 Maret 2024

Menjadi populer agaknya lebih penting dibandingkan menjadi kompeten. Setidaknya itu yang terjadi pada proses pemilihan pemimpin di Indonesia ini. Para partai seperti tak berdaya melawan 'kaderisasi' yang dilakukan berdasar skala popularitas. Sistem pengkaderan partai dipaksa tunduk terhadap hasil-hasil survei elektabilitas yang muncul setiap 2 minggu.

pemilihan presiden 2024
Tak banyak yang mampu menampilkan wajahnya dikertas ini.

Setiap tahunnya, Indonesia memiliki anugerah penghargaan bagi para aktor yang memiliki karya didunia perfilman. Tak hanya untuk aktor, para komedian juga memiliki penghargaan untuk mengapresiasi para seniman di dunia gelak tawa. Kategori yang selalu menarik saya perhatian adalah Aktor ataupun Komedian terfavorit. Kategori penghargaan ini menjadi menarik dikarenakan pemenangnya biasanya ditentukan melalui sistem pemungutan suara. Jadi siapa saja yang paling banyak dipilih, maka aktor/komedian tersebut akan menang. Kategori penghargaan ini juga menjadi gambaran bagi industri untuk melihat karakteristik aktor/komedian yang sedang menjadi selera pasar.

Negara kita sudah terbiasa dengan sistem pemilihan pemenang melalui pemungutan suara. Sebagai negara demokrasi, kita memilih pemimpin kita melalui sistem voting. Baik itu untuk eksekutif maupun legislatif. Pada awalnya, para rakyat Indonesia hanya dihadapkan pada pilihan partai. Tahun 1955 menjadi tahun pertama kali rakyat Indonesia melakukan pemilihan umum. Hingga akhirnya reformasi membawa kita kedalam bentuk pemilihan yang saat ini. Rakyat dipaksa untuk menentukan langsung figur yang akan memimpinnya. Para calon pemimpin ini harus bersaing memperkenalkan dirinya kepada masyarakat agar bisa dipilih masyarakat. 

Celakanya, sistem demokrasi yang diterapkan Indonesia rasanya masih terlalu dini dan tak cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia. Tingkat pendidikan masyarakat Indonesia terlalu rendah untuk mampu berpikir secara rasional dalam memilih calon pemimpin. Badan Pusat Statistik merilis bahwa 50,83 persen penduduk berusia 15 tahun keatas hanya memiliki ijazah maksimal SMP. Hanya 13,21 persen masyarakat kita yang sudah lulus perguruan tinggi. Dan dalam Pemilu, suara dari lulusan SD akan dianggap sama dengan suara dari seorang Profesor. Mau bagaimana lagi. Kita sudah memilih jalan ini. 

Tak cukup bermasalah dengan tingkat pendidikan. Proses pemilihan pemimpin di negeri ini juga sudah berubah menjadi ajang mencari siapa paling populer. Tak ubahnya seperti Aktor/Komedian yang dipilih karena disukai dan paling populer. Sistem kaderisasi yang harusnya berjalan dalam organisasi partai, terpaksa tunduk oleh kemauan pasar. Bahkan, partai sebesar PDI-Perjuangan tak mampu memajukan Puan Maharani sebagai gacoan dalam Pilpres ini. Partai Nasdem dan PKS harus menaruh harapan kepada Anies Baswedan untuk mencapai pucuk pimpinan tertinggi negara ini. Padahal, dua partai lama, yakni PKS dan PDI-Perjuangan terkenal memiliki sistem kaderisasi yang cukup terstruktur. Terlebih PKS yang memiliki massa militan disetiap daerahnya. Tapi apa daya, survei elektabilitas memunculkan 3 nama teratas, yakni Prabowo (Ketum Gerindra), Anies Baswedan, dan Ganjar.

Pilihan pasar telah dijatuhkan kepada 3 orang tersebut. Mau tak mau partai politik harus mengikuti pasar. Jika tak diikuti, partai tersebut harus rela ditinggal masyarakat dan tak mendapat efek ekor jas (coat tail effect). Bahkan, jika salah pilih diantara ketiganya, partai dapat kehilangan pemilih setianya karena dianggap tak mengakomodir selera presiden pemilih. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sudah merasakan hal tersebut. Keputusan mereka mendukung Ganjar harus dibayar mahal dengan ketidaklolosan PPP ke Senayan.

Masyarakat kita memang masih tertinggal dari segi pendidikan jika dibandingkan negara demokrasi maju lainnya. Rasionalitas terkadang masih menjadi pertimbangan nomor sekian dalam menentukan pemimpin. Masyarakat kita lebih suka disentuh perasaannya daripada pemikirannya. Lagipula, ada pepatah yang mengatakan dalam sistem demokrasi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Setidaknya saya dapat meyakini, bahwa kemenangan Prabowo menunjukkan bahwa Prabowo lebih populer dibandingkan Ganjar dan Anies.